Jumat, 06 Agustus 2010

cerbung >> Hasinuda In Love_Part 23

PART XXIII: Ngiri?
Alvin melemparkan tasnya sembarang dan membanting dirinya ke sofa. Iel, rio, dan cakka tidak mengalihkan pandangannya dari pr mereka.
“kenapa lo?” tanya rio.
“ahh! Kenapa gue jadi bergantung sama ni obat sih?” alvin melemparkan bungkusan obat tepat ke tengah meja. Mereka semua menatapnya.
“salah lo sendiri,” celetuk cakka.
“kayak orang penyakitan tau gak sih gue,” katanya kesal. Ia membuka tasnya, mengambil prnya dan mengerjakannya di meja bersama yang lain.
“yel, hapusin sms gue dong,” alvin menyodorkan hapenya ke iel. iel mengambilnya dan langsung menatapnya tidak mengerti begitu membaca siapa pengirim sms itu.
“gak salah lo vin? Ini dari agni semua, banyak banget lagi smsnya, lo gak baca ya?” alvin mengangguk, fokus mengerjakan prnya.
“tapi kenapa? Bukannya lo sayang sama dia? lo udah gak suka lagi ya sama dia?” tanya rio.
“gue masih sayang kok sama dia, tapi gue lagi gak mau deket-deket dulu,” jelasnya. Mereka bertiga menatapnya tidak percaya. Lalu melanjutkan pekerjaan masing-masing. Hening. Mereka mengerjakan dalam diam.
“gue selalu ngiri sama lo bertiga,” alvin membuka suara meski dia masih fokus pada pekerjaannya, yang lain menyimak dengan tenang. Baguslah bila alvin mau bercerita.
“gue pengen, jadi iel, yang selalu ceria dan semangat, gue pengen, jadi rio, yang bisa nunjukkin perhatiannya ke orang lain, gue pengen, jadi cakka, yang gak pernah ragu buat ngungkapin apa yang dia rasa. Kenapa gue harus jadi alvin? kenapa gue gak bisa kayak kalian?” alvin berhenti sebentar, ia mencengkeram kuat pulpennya.
“gue benci jadi alvin, yang selalu dingin, gue benci jadi alvin, yang gak bisa nunjukkin sisi lembutnya, gue benci jadi alvin, yang selalu memendam semuanya sendiri, kenapa sih gue kayak gini? gue sendiri gak ngerti,” alvin berhenti. Iel, rio, dan cakka terperangah dengan semua yang diucapkan alvin. jadi itu alasan sebenarnya dia benci sama dirinya sendiri.
“gue juga benci jadi alvin, yang gak bisa ngatur mood gue sendiri, yang gak bisa ngontrol emosi gue, kenapa gue gak kayak kalian?” nadanya semakin melemah. Ia mencengkeram kuat-kuat pulpennya, lalu melemparnya. Kedua tangannya dilipat diatas meja, kemudian ia membenamkan wajahnya. Dia benar-benar membenci dirinya sendiri.
Iel mengusap pelan punggung alvin. ia tak menyangka, sebegitunya alvin membenci dirinya sendiri. Dia tahu, gejolak emosi dalam diri alvin lebih besar daripada yang ia perlihatkan sekarang.
“justru gue pengen jadi elo, vin,” kata cakka. Iel dan rio menoleh kepadanya.
“elo selalu kuat ngadepin semuanya, elo lebih bisa nahan emosi lo daripada gue, gue pengen punya kesabaran kayak elo vin,” lanjutnya lagi. Inilah sisi diri alvin yang cakka suka, yang tidak mudah terpancing emosi sepertinya.
“gue juga vin, gue pengen jadi elo,” ucap rio. “lo tuh perhatian banget vin, lo juga lembut, lo bahkan bisa dengan cepet ngerti sifat orang, lo bisa mahamin apa yang orang laen mau,” lanjutnya.
“dan gue vin, lo kira gue gak pengen jadi lo apa? Gue juga pengen vin, lo selalu punya cara biar kita bisa tersenyum, disaat lo mungkin lagi sedih, dan gue gak bisa kayak gitu. Vin, semua orang tuh punya kekurangan dan kelebihan, meskipun kita kembar, kita gak mungkin bisa sama, makanya vin, lo jangan benci diri lo sendiri, lo juga punya sisi baik dalam diri lo,” kata iel.
Alvin mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis. “kayaknya gue terlalu banyak ngiri deh sama lo semua,” katanya.
“lo semua enak, bisa sekolah normal terus, lah gue, baru pas kelas 2 smp gue sekolah normal, sisanya homeschooling. Emang lo semua pikir gue penyakitan kali ya? Sampe-sampe gak dikasih sekolah biasa, gue harus mohon-mohon dulu baru dikasih, padahal sekolahnya juga punya sendiri,” alvin mengingat-ngingat saat dulu dia homeschooling, sementara ketiga saudaranya ini sekolah normal.
“sori deh vin, abisan kita takut lo gak bisa menyesuaikan keadaan, lo gak sadar apa lo tuh moody banget? Mana waktu dulu sering ngamuk-ngamuk pula,” balas cakka.
“lagian lo pendiem banget, kita takut lo gak punya temen,” sambung rio.
“tapi sampe sekarang gue juga gak punya temen deket kan? temen gue Cuma lo bertiga plus zahra. gak kayak lo yel, punya kiki, lo yo, punya patton, dan lo cak, lo punya obiet. Sedangkan gue? gak ada yang berani deket-deket sama gue,” ucapnya pelan.
Iel baru membuka mulut, namun alvin sudah menghentikannya. “udahlah, yang penting beban gue berkurang sedikit,” alvin melanjutkan kembali mengerjakan tugasnya.
Iel, rio, dan cakka speechless. Tak menyangka sama sekali kalau selama ini tekanan batin alvin justru hal yang menurut mereka biasa saja dan tidak perlu dikhawatirkan.
“woy! Emang lo udah selesai?” seru alvin, membuyarkan lamunan mereka. Mereka bertiga tersenyum, lalu melanjutkan mengerjakan tugasnya.
***
Agni mengetuk pintu rumah hasinuda. Cakka membuka pintu. “ada apa?” tanyanya.
“gue mau ketemu sama rio,” jawabnya. Agni tahu, cakka emosian, gak akan bisa diajak ngomong tentang alvin.
“bentar,” kata cakka. Ia memanggil rio.
Rio menghampiri agni dengan bingung. “kenapa ag?” tanyanya lembut.
“gue mau ngomong sama lo, tapi mendingan di rumah gue aja deh,” katanya. Rio mengangguk dan mengikuti agni ke rumahnya.
“tentang alvin kan?” agni mengangguk.
“sebenernya dia kenapa sih? Gue jadi sering liat dia megangin kepalanya kesakitan.”
“oh, itu..” raut wajah rio langsung berubah lemas. “dia stress berat, tingkat frustasinya udah kelewat tinggi, kalo gini terus gak lama lagi dia bisa depresi,” ucapnya perlahan. Hati agni mencelos.
“depresi? Gak! Gak boleh! Gak mungkin!” agni berteriak tidak percaya. “lo bohong kan yo? Lo ngerjain gue kan? gak lucu tau gak!” agni menatap rio berharap kalo rio Cuma bercanda.
“enggak ag, gue serius, lo bisa tanya ke iel sama cakka kalo gak percaya,” rio membalas tatapan agni dengan serius.
“tapi gimana bisa? Masa sampe depresi sih?” agni goyah, badannya jatuh terduduk di sofa.
“makanya ag, dia sekarang gak boleh ngerasa tertekan dulu, kalo dia ngerasain itu, kepalanya bakal sakit banget, lo udah liat sendiri kan, dia sendiri gak kuat nahan sakit kepalanya itu, dia jadi bergantung sama obat,” jelas rio.
“tapi dia gak akan beneran depresi kan?” bibirnya bergetar, membayangkan alvin akan depresi.
“kalo dia bisa ngebagi bebannya dan seneng terus kemungkinan dia depresi semakin kecil.”
“apa yang ngebuat dia semakin tertekan?” agni yakin sepenuhnya bahwa rio akan menyebutkan namanya.
“elo, untuk sementara ini lo jangan deketin dia dulu, biarin dia tenang dulu.”
“ternyata selama ini gue salah besar yo, ternyata selama ini gue sayang sama alvin,” agni menatap rio dengan rasa bersalah.
Rio beranjak dari tempat duduknya dan pindah ke sebelah agni.
“alvin juga sayang sama lo kok ag,” katanya perlahan.
“tapi dia gak nanggepin gue sama sekali yo, dia benci sama gue,” agni menatap rio putus asa.
Rio mengelus pipi kiri agni dengan ibu jarinya lembut. Ia menatap agni dalam.
“ag, percaya sama gue, alvin tuh sayang banget sama lo, dia gak mungkin benci lo, dia Cuma butuh waktu, biarin dia dulu ya ag,” rio menarik tangannya perlahan.
Agni tersenyum tipis. “thanks ya yo,” katanya.
***
Rio masuk ke kamar alvin. “vin, tadi gue sama agni abis ngomong,” alvin mengangguk. Dia masih sibuk menekan tuts-tuts piano dihadapannya.
“dia sayang sama lo, vin,” kata rio lagi. Alvin menghentikan permainannya dan menatap rio.
“gue gak yakin yo, dia udah terlalu banyak ngasih harapan kosong ke gue, geu gak mau dimaenin lagi sama dia,” ucapnya getir.
“dia serius sayang sama lo, vin, gue liat itu, dia tulus ngucapinnya,” rio mencoba meyakinkan alvin.
“entahlah yo, gue capek, gue mau nenangin diri dulu, lagian dia juga masih gak percaya sama omongan gue.”
“gak percaya? Yang mana?”
“dia masih deket sama riko, padahal udah gue ngingetin dia,” kepala alvin sakit lagi bila harus mengingat hal-hal yang menyakitkan seperti itu. Dia segera mengambil obatnya dan meminumnya.
“vin, jangan terlalu sering minum obatnya, bahaya, nanti overdosis lagi,” peringat rio.
“makanya, jangan ngomongin agni dulu di depan gue,” alvin melanjutkan bermain piano lagi.
Rio hanya bisa meratapi nasib alvin dan agni. Mereka saling menyayangi, tapi sulit sekali untuk bersatu. Disaat alvin sayang sama agni, agni justru menutup hatinya rapat-rapat. Dan disaat agni menyadari bahwa dia menyayangi alvin, alvin malah menjauh darinya. Seperti sinetron saja, pikir rio.
***
“kita ke kelas mereka dulu ya vin,” pamit iel, tanpa menunggu jawaban alvin yang sedang mencatat mereka bertiga langsung meninggalkannya.
“tinggalin gue aja terus,” gumam alvin.
***
Iel, rio, dan cakka yang lagi asik ngobrol langsung berhenti begitu melihat siapa yang berdiri di ambang pintu. Alvin? rio mengucek matanya, cakka menajamkan penglihatannya, sedangkan iel memandang tidak percaya. “alvin?” seru ketiganya tidak percaya. Sudah beberapa hari ini alvin sengaja menghindar dari kelas ini, tapi sekarang dia malah masuk ke kelas ini?
Alvin menghampiri mereka. “napa lo? Biasa aja kali,” katanya menahan tawa, melihat tiga orang ini tidak percaya, seperti melihat hantu saja.
“tumben lo vin kesini, bukannya lo mau ngehindar ya?” sindir cakka tajam.
“sirik lo cak, suka-suka gue dong mau kemana, lagian gue ditinggal sendiri mulu,” alvin mengedarkan pandangannya ke seisi kelas. Pandangannya berhenti di satu fokus. Riko dan agni. Berduaan. Tertawa bersama. Alvin mencoba mengalihkan pandangannya, namun tidak bisa, matanya terus terpaku pada agni yang memunggunginya. Agni memang berpindah tempat duduk ke belakang, agar tidak terus-terusan diperhatikan oleh ify, dea, dan shilla.
Iel mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah alvin. alvin tidak berkedip. Ia masih terpaku dengan sosok agni yang sudah lama tidak bersamanya. Iel memukul lengan alvin pelan. “woy! Bengong mulu!”
Alvin menatap iel tajam. “rese lo!”
“jangan diliatin doang vin, kalo diliatin doang mah nanti keburu diambil orang,” gantian rio yang menyindirnya.
“kayaknya gue gak diharapkan disini, mendingan gue balik!” katanya sinis.
“yah, kak alvinnya ngambek, sini aja kak, gabung,” ajak ify. Alvin tersenyum manis padanya, membuat pipi ify memerah.
“weits, bahaya juga lo vin, cewek gue nih!” kata cakka merasa terancam.
Alvin tertawa kecil. “tenang cak, gue tau kok ify cewek lo, gak mungkin gue rebut,” katanya.
“yah kak alvin, padahal aku seneng loh digodain sama kak alvin yang ganteng ini,” canda ify. Cakka manyun.
“ohya? Kamu lucu ya fy, gak kayak cowok kamu tuh, kerjaannya manyun mulu,” alvin jadi ikut-ikutan ify pake aku-kamu. Muka cakka merah padam.
“alvin!” katanya kesal, menjauhkan ify dari alvin. ify dan alvin tos bersamaan.
“cak, tenang aja, walaupun kak alvin ganteng, masih gantengan lo kok,” kata ify sambil menepuk-nepuk pipi cakka pelan. Cakka tersenyum pada ify.
Alvin melirik ke arah dea dan shilla, memberikan kode kepada mereka dengan senyum nakal. Mereka mengerti.
“napa lo vin senyum-senyum gitu?” tanya rio heran.
“gak kenapa-napa kok,” jawab alvin.
“kak alvin~” panggil shilla manja, berjalan mendekati alvin yang duduk diatas meja.
“apa shilla manis?” balas alvin lebih manja lagi.
“kakak manis banget sih kalo senyum, sering-sering senyumin aku ya kak,” kata shilla tersenyum. Alvin membalas senyumannya.
Gantian muka rio yang merah padam, dia menarik tangan shilla dan menjauhkannya dari alvin. “tega lo vin, gangguin cewek gue aja,” kata rio cemburu.
“haha..” iel tertawa. “kayak gue dong, dea kan setia nih, gak kayak cewek lo, terpengaruh sama alvin,” ledek iel, dia gak sadar dea berjalan mendekati alvin.
“kak, kakak hebat banget deh maen futsalnya, nanti ajarin aku ya kak,” kata dea sambil tersenyum jail.
“pasti!” alvin mengangkat tangannya mau mengacak-ngacak rambut dea, namun iel langsung menahan tangannya.
“wetss, cewek gue juga lo embat, bahaya noh tangan lo,” sambar iel.
“emang kenapa sama tangannya kak alvin?” tanya dea bingung.
“jangan mau disentuh sama alvin de! Maut tuh sentuhan dia, nanti lo kesemsem sama dia lagi,” jelas iel.
Wajah alvin memucat. Ia tidak sadar agni mempehatikannya sedaritadi. Tidak ada riko disana, agni sendirian. Agni berjalan keluar kelas dengan langkah cepat. ia cemburu melihat alvin ngegodain cewek lain, meskipun dia tahu mereka hanya bercanda. Tetap saja, dia tidak suka melihatnya.
“kak, lo kenapa?” ify melihat perubahan rona wajah alvin. alvin menggeleng. Ia menutupi mukanya dengan sebelah telapak tangannya.
“kak, serius, lo kenapa? Muka lo jadi pucet gitu,” ify khawatir sekarang. Yang lain menatap alvin.
“gue duluan,” katanya dingin.
“tuh anak kenapa berubah jadi dingin lagi?” tanya rio.
Cakka mendengus kesal. “kualat tuh anak, ngegodain cewek kita sih, emang lo gak liat tadi, si agni ngeliatnya jealous gitu?” yang lain menggeleng.
“kenapa kak alvin gak ngejar?” tanya shilla.
“biarin dia ngurus urusannya sendiri lah,” jawab rio jutek, dia masih kesal dengan keisengan alvin dan ketiga cewek itu.
“gue nyusul alvin,” iel segera berlari menyusul alvin.
***
Benar saja seperti apa yang dikira iel. alvin terduduk lemas di bangku pinggir aula. Ia memejamkan matanya, menggigit bibir bawah bagian dalamnya, mencoba menahan sakit di kepalanya, tidak mungkin ia memegangi kepalanya sekarang, disaat separuh sekolah sedang ada di lobby sekolah.
Iel menyodorkan obat alvin dan botol minumnya. Alvin meminum obatnya. “thanks yel.”
“tadi agni ngeliat?” alvin mengangguk pelan. “kenapa lo gak kejar dia?”
“gue bukan siapa-siapanya yel, percuma gue ngejar dia, dia pasti ngehindar,” jawabnya.
“lo tau darimana dia bakal ngehindar? Lo harus usaha vin, kalo lo mau dia kembali sama lo,” saran iel.
“nanti,” jawabnya singkat.
“nantinya itu kapan vin? Kasian agni nungguin lo terus.”
“dia? nungguin gue? impossible banget sih yel! Lo gak liat tadi dia berduaan sama riko?!” alvin berdiri dan berjalan kembali ke kelas.
“alvin! sampe kapan sih lo mau gini terus? Terus-terusan jealous tanpa usaha sedikit pun dari lo?!”
“lo liat aja nanti yel, gak lama lagi, gue bakal nunjukkin, agni akan jadi milik gue.. selamanya,” kata alvin tanpa menoleh ke iel.
Iel menatap kepergian alvin dengan tidak mengerti. Apa yang akan dilakukan alvin? dia tau alvin anaknya nekatan. Pasalnya dulu alvin pernah bawa kabur zahra ngebut pas dia baru bisa nyetir, gara-gara gak mau ditinggal zahra ke swiss. Dia berdoa dalam hati semoga alvin tidak berbuat macam-macam terhadap agni.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar