Jumat, 06 Agustus 2010

cerbung >> Hasinuda In Love_Part 22

PART XXII: Tekanan Batin à Frustasi à Depresi?
Alvin bersandar di sofa, kepalanya bukan lebih baik malah tambah sakit, alvin meremas kepalanya. Ia mengerang-ngerang kesakitan, badannya sudah meringkuk di atas sofa.
Dia kedinginan, badannya menggigil, kepalanya sakit sekali. Alvin melihat dari layar hapenya, wajahnya pucat sekali. Dia kenapa sih? Dia sudah terbiasa sakit kepala kalau sedang frustasi, tapi ini parah sekali. Alvin memanggil-manggil iel. “i.. yel.. i.. yel..” suaranya pelan sekali, namun ia yakin iel bisa merasakannya.
Iel terbangun, dan mendapati alvin tidak ada di tempat tidurnya. Ia panik. Ia memanggil-manggil alvin. “i.. yel.. gu..e.. di..si..ni..” kata alvin bergetar. iel menengok ke arah sumber suara. Alvin! dia meringkuk di sofa sambil memegangi kepalanya.
Rio dan cakka yang terbangun karna teriakan iel yang mencari alvin, langsung keluar kamar dan melihat iel yang sedang bingung mau ngapain. Mereka segera membantu iel membawa alvin kembali ke kamarnya. Rio menyelimuti alvin.
“lo ngapain keluar-keluar sih vin?! Lo kan lagi sakit!” kata cakka.
Alvin tersenyum. “thanks ya, gue gak tau gue bisa ngapain kalo gak manggil lo, gue tadi abis ngomong sama mama papa,”
“tapi laen kali jangan kayak gini dong! Bikin orang panik aja kerjaannya,” kata rio kesal.
“sebenernya gue kenapa sih? Kepala gue sakit banget, lebih parah dari yang biasanya,” tanyanya bingung, ia memakan obat penenang sakit kepala dari dokter.
Iel, rio, dan cakka saling berpandangan.
“vin, lo kalo ada masalah cerita aja ya, gak usah ragu atau apa, kita gak akan ngumbar-ngumbar masalah lo kok, kita juga gak akan ungkit-ungkit kalo lo emang gak suka, tapi please vin, kalo lo ada masalah atau ada yang lo gak suka, lo cerita, biar lo gak nyimpen semuanya sendiri,” terang iel.
“emang sebenernya gue kenapa sih? Kenapa ngarahnya malah kesitu?”
“elo.. elo stress berat vin, tingkat frustasi lo udah terlalu tinggi, lo bisa depresi kalo gini terus,” kata iel perlahan.
Alvin menyunggingkan senyum meremehkan. “depresi doang? Gue kirain kena kanker atau apa,” katanya enteng.
Ini anak udah gila kali ya? Masa depresi pake doang? Pikir ketiganya heran.
“vin, lo udah gak waras ya?” tanya rio. alvin langsung menoyor kepala rio.
“enak aja lo! Gue masih waras ya! Masa kembaran sendiri dikatain gak waras, ckck,” decak alvin kesal.
“lagian lo bilang depresi pake doang,” balas rio.
“ya elah, Cuma depresi doang sih, gue masih tetep idup ini,” katanya tanpa beban sama sekali.
“gak waras lo vin! Mana ada orang yang biasa aja ngadepin idupnya bakal depresi?! Baru lo doang vin, mendingan gue masukin deh elo ke RSJ sekalian!” kata cakka kesal.
Alvin berdecak heran. “ya ampun cak, lebay banget sih lo! Emang lo pikir gue seneng apa depresi? Ya enggaklah!”
“sebenernya, apa sih tekanan batin lo yang paling besar?” tanya iel serius. Raut wajah alvin langsung berubah tak terjelaskan. Tersirat perasaan kesal, marah, frustasi, dan letih.
Alvin tersenyum sinis. “udahlah, lo bertiga gak perlu tau,” alvin mengambil saputangan dari laci, membasahinya dengan air kompresan, dan menaruhnya di atas matanya.
“vin, ampe kapan lo mau gini terus?” tanya iel putus asa. Alvin tidak menjawab.
“vin..” rio menggoyang-goyangkan tangan alvin, memaksanya cerita.
“apa sih yo?” tanyanya kesal.
“cerita dong, kita kan gak mau lo depresi,” katanya penuh harap.
“gak ah, nanti lo bertiga ikutan sakit hati lagi kalo gue cerita,” katanya setengah tertawa kecil.
“gak papa kok vin, yang penting beban lo sedikit berkurang,” balas rio.
Alvin mendudukkan dirinya dan bersandar di kepala tempat tidur. Iel, rio, dan cakka menatapnya penuh semangat, menanti dirinya berbicara.
“semangat amat lo bertiga? Perasaan yang gue mau ceritain bukan happy story deh,” katanya heran.
“langsung cerita vin, jangan kebanyakan ngomong,” kata cakka.
“sebenernya yang selama ini bikin gue tertekan tuh lo bertiga,” katanya dingin.
“kita?” mereka menunjuk diri masing-masing dan saling berpandangan. Alvin mengedipkan matanya sekali, lebih lama, menandakan apa yang diucapkan mereka benar. Ia tidak mau terlalu banyak menggerakkan kepalanya.
“tapi kenapa? Kita ada salah sama lo ya? Atau kita jahat sama lo? Bilang aja vin,” kata rio bingung.
“lo bertiga,” alvin menunjuk mereka bergantian. “terlalu jahat sama gue, lo semua terlalu manjain gue, selalu menangin gue, sampe-sampe karna gue terlalu sering dimanja dan selalu menang, gue gak bisa ngadepin penolakan dari orang lain,” lanjutnya lagi.
Ketiganya terhenyak dengan ucapan alvin. “tapi itu kan karna kita sayang sama lo vin,” kata iel.
Alvin mengalihkan pandangannya ke iel. “elo yel, lo yang paling jahat sama gue, lo selalu ngasih apapun yang gue minta, lo selalu ngebelain gue kalo gue salah, gue gak mau yel, kalo kayak gitu terus gue gak akan bisa bertahan hidup sendiri, gue akan selalu bergantung sama orang lain, gue gak mau, gue dari dulu pengen yel ngerasain penolakan yang semestinya,” alvin berhenti sebentar untuk menarik napas.
“gue dari dulu gak pernah ngerasain dihukum, gue selalu ngiri kalo lo bertiga dihukum, sementara gue enggak, gue jadi ngerasa gue terlalu diistimewakan, gue gak suka itu, gue selalu tertekan sendiri kalo gue selalu dibelain, gue slalu ngerasa bersalah,” alvin memandang ketiga kembarannya, mereka menunduk. Mereka merasa bersalah sekarang, merekalah sebab alvin jadi begini.
“tuh kan, gue baru cerita segitu aja lo semua udah kayak gitu, gimana kalo gue cerita semuanya coba? Ikutan depresi deh lo pada,” ledeknya. Ketiganya mengangkat kepala. Alvin selalu bisa membuat mereka tersenyum.
“kenapa sih lo semua selalu manjain gue, padahal gue bukan anak bungsu deh kayaknya.”
“karna lo yang paling pendiem vin, kita takut lo kenapa-napa,” kata cakka.
Alvin memandang jam dinding, sudah jam 5. “udah dih, lo semua siap-siap sekolah, udah jam 5,” usir alvin.
“ngusir nih ceritanya,” sindir iel.
“udah-udah, sana keluar, gue juga mau siap-siap,” alvin menggerak-gerakkan tangannya mengusir.
“badan gak fit gini mau sekolah, udah, di rumah aja,” kata rio.
“ngapain gue di rumah? Mendingan gue sekolah,” kata alvin, mencoba berdiri dan mendorong ketiga kembarannya itu keluar dari kamarnya. Alvin menutup pintunya dan berkata, “lo semua emang terlalu baik sama gue.”
***
“kak alvin mana cak?” tanya ify, gak biasanya mereka Cuma bertiga.
“di kelas,” katanya.
“kok gak bareng?” tanya dea.
“lagi sakit,” jawab iel.
“sakit apa?” tanya shilla.
“panas,” jawab rio.
Agni yang duduk tak jauh dari mereka, menajamkan pendengarannya. Alvin sakit? Panas? Ia khawatir, dan berlalu ke kelas alvin, meninggalkan riko.
***
Alvin ada di kelasnya, duduk bersandar di pojok kelas, sendirian. Alvin memandangi kedua cincin yang diletakkannya di ujung jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya. Agni menatap alvin dari luar. Ia melangkah masuk dan menghampiri meja alvin.
Alvin mengepalkan tangan kirinya, tidak membiarkan agni melihat cincin itu. Kepalanya mulai sakit lagi. Alvin memejamkan matanya dan meremas kepalanya dengan tangan kanannya.
“alvin,” panggil agni.
“keluar,” katanya dingin. Kepalanya semakin sakit sekarang.
“alvin, lo lagi sakit ya? Kepala lo sakit?” tanya agni khawatir. ia mengulurkan tangannya ingin menyentuh kepala alvin. alvin menepisnya.
“keluar!” alvin menaikkan intonasinya. Ia membuka tasnya dan merogoh-rogoh mencari obatnya. Agni hanya dapat menatap alvin iba. ia ingin membantu alvin mencari obatnya. “gue bilang keluar!” alvin membentak agni. Tenaganya habis sekarang. Agni tetap kekeuh tidak beranjak dari tempatnya, ia menyambar tas alvin dan mencari obat.
“please, keluar, gue mohon, gue mau sendiri,” nada alvin berubah menjadi memohon. Alvin sama sekali tidak menatap agni sekilas pun. Agni meninggalkan alvin. hatinya perih sekali melihat alvin membentaknya, tapi dia lebih sakit melihat alvin kesakitan dan menolak bantuannya.
Alvin memasukkan kedua cincin itu ke kantong seragamnya, lalu mencari kembali obatnya. Kepalanya semakin sakit saja, semua buku-bukunya ia keluarkan, namun ia tetap tidak menemukannya. Ia menelpon iel.
“iyel..” alvin memanggil iel dengan susah payah.
“alvin! kenapa vin?” teriak iel pelan. Rio dan cakka kaget.
“ke..pa..la.. gu..e.. yel.. sa.. kit.. obat..nya.. ga.. a..da..” kata alvin, berusaha mengatur kata-katanya.
“tunggu ya vin, bentar aja, gue ambil obat dulu,” kata iel cepat, namun tidak mematikan teleponnya, agar dia masih bisa mengontrol kesadaran alvin.
“cakka! ambil obat alvin! dia gak bawa! Cepetan!” cakka segera berlari ke room of hasinuda dan mengambil obat alvin. lalu berlari ke kelas. Sudah ada iel dan rio disana.
Cakka menyodorkan obatnya. Alvin segera mengambilnya dan meminumnya. Perlahan sakit kepalanya menghilang.
“kok lo bisa gak bawa sih vin?” tanya rio.
“gak tau, tadi gue udah masukin ke tas, tapi pas gue cari gak ada,” jawabnya lemah.
“udah gue bilang juga, gak usah masuk, sekarang lo jadi nyusahin gini kan,” katanya lagi.
“mulai sekarang lo harus bawa obatnya, kapanpun,” peringat cakka.
Alvin mengangguk.
“dan jangan lupa, kalo ada apa-apa langsung telfon gue,” sambung iel. alvin mengangguk lagi.
“lo kenapa bisa sakit kepala lagi sih?” tanya rio heran.
“tadi agni dateng kesini,” ucapnya dingin.
“terus?” tanya cakka penasaran.
“gue gak suka dia di deket gue, makanya kepala gue sakit lagi,” katanya kesal.
“trus lo maunya apa? Kalo lo tertekan, kepala lo bakal sakit,” kata iel.
“gue mau jaga jarak sama dia.”
“sampe?” rio kali ini cukup bingung dengan alvin.
“sampe gue bisa tenang dulu,” katanya pelan.
***
Istirahat kedua, agni melihat iel, rio, dan cakka masuk ke kelasnya, seperti biasa, sibuk sama cewek-cewek mereka. Ia mau mencari alvin dan meminta maaf. Agni melewati meja ify, “jangan cari alvin, jangan deket-deket dia,” kata-kata cakka menghentikan langkahnya.
Ia menatap cakka tidak mengerti. “jauhin alvin, ag,” lanjut rio.
“tapi kenapa? Gue mau minta maaf sama dia,” katanya bersalah.
“dia yang minta ag, please, jangan deketin dia dulu selama dia belom ngasih kesempatan buat lo,” giliran iel yang menjawab.
Agni tidak perduli, dia melanjutkan langkahnya dan terus mencari alvin. gak ketemu. Agni mencoba masuk ke room of hasinuda, tapi aksesnya ditolak.
***
Alvin menghindarinya, ia mencoba menghubungi alvin terus-terusan namun tidak diangkat. Ia meng-sms alvin, namun tidak dibalas. Tiba-tiba ia mendapat telfon dari mamanya.
“ada apa ma?”
“kamu sama alvin putus ya?” tanya bu winda dari ujung telfon, terdengar sekali kekecewaan dari ucapannya.
“ya,” jawab agni singkat.
“tapi kenapa sayang?”
“agni udah gak sanggup mah jalanin ini semua,” katanya perlahan.
“yaudah, terserah kamu sama alvin aja deh, tapi inget, kalian tetep harus menikah!”
“terserah,” agni mematikan telfonnya. Mamanya ngerti gak sih? Kalo dia sama alvin tuh putus? Kenapa masih disuruh nikah juga lagi?
***
Agni terus mencoba mendekati alvin. selesai latihan futsal, dia menghampiri alvin. “alvin,” panggilnya. Alvin tidak menoleh ataupun menjawab.
“alvin, gue minta maaf, gak seharusnya gue kayak kemaren ni. Gue lagi emosi vin,” katanya berharap alvin mau mendengarkannya.
Alvin tidak mendengarkan satu katapun yang terucap dari bibir agni. Ia merasakan kepalanya berdenyut kembali. Ia berjalan menjauhi agni. “alvin,” panggil agni lagi. Alvin sama sekali tidak ingin merespon agni.
Agni menahan lengannya dari belakang, namun langsung ditepisnya kasar. Agni menyetarakan jalannya. “alvin,” nadanya berubah memohon. Kepala alvin semakin sakit. Dia menempelkan satu tangannya ke dinding untuk membantunya berjalan.
“kenapa sih vin lo jadi gini? gue tau gue salah, gue minta maaf vin,” katanya lagi.
“stop! Latihan udah selesai, lo boleh pulang,” katanya dingin. Agni menyerah. Dia berbalik menjauhi alvin.
baru beberapa langkah, dia berbalik ke arah alvin. alvin jatuh terduduk di lapangan, kedua tangannya meremas kepala seperti orang gila. Agni berjalan pelan ke arah alvin, menjatuhkan dirinya berlutut di belakang alvin. ia mengalungkan kedua tangannya di leher alvin. ia memeluknya erat. Satu tangannya mengusap-usap kepala alvin. “alvin, lo kenapa?” agni khawatir sekali dengan alvin.
Sekejap, sakit kepala alvin hilang. Ia menurunkan kedua tangannya. Ia tahu sentuhan agnilah yang menyembuhkannya. Tapi masih terekam jelas dalam ingatannya, agni menolak dirinya, memintanya menjauh, dan memutuskan hubungannya. Rasa sakit itu kembali menyerang kepalanya. Dadanya sesak, menyekat rongga pernapasannya.
“ambilin.. obat.. hh.. hh..” alvin mencoba tetap menstabilkan ucapannya. Agni bergegas berlari mengambil tas alvin dan memberikan obatnya.
Alvin meminumnya. “thanks,” katanya dingin.
“alvin, lo sebenernya kenapa?”
Alvin menatapnya dingin. “bukan urusan lo,” tegasnya, lalu bergegas meninggalkan agni. Agni hanya bisa menatapi punggung alvin yang semakin menjauh. Setengah berharap suatu saat alvin mau kembali padanya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar