Sabtu, 04 Desember 2010

Hasinuda in Love special part ALNI 3a

SPECIAL PART ALNI III: Trust Me, I’ll Stay Alive, Only For You

Belakangan ini alvin jadi sering diam, sering menyendiri. Sering memandangi agni dengan tatapan bersalah. Sering berpikir macam-macam. Kadang sering bertindak diluar nalarnya. Dirinya pun tertutup kembali. Namun sayangnya tidak ada yang menyadarinya.

“woy, napa diem aja lo dua? Tumben,” tegur rio heran. daritadi alvin dan agni diem-dieman saja, tidak berbicara sepatah kata pun, tidak bersentuhan sedikitpun.

Agni mengangkat kepalanya memandang rio dengan malas. “kan waktu itu katanya gak boleh deket-deket di sekolah?” rio mengangguk-anggukan kepalanya mengingat-ngingat.

“iya sih, tapi gak usah segitunya kali! Kirain lagi berantem. Ngomong mah ngomong aja!” sahut iel.

“tau ah, males,” jawab agni. sibuk dengan hapenya.

“weh, vin, kok lo diem juga sih? ngantuk? Merem mulu,” tanya zahra heran.

Sesungguhnya alvin sedang menahan sakit di kepalanya, dia gak sanggup bicara. Ia menganggukkan kepala. Yang penting gak ada yang tau kalo kepalanya sakit.

“oh,” kata zahra.

Kapan sih kepalanya bisa diajak kompromi? Mengontrol rasa sakitnya saja dia tak mampu. Sebegitu payahnyakah dirinya? Apa dia harus meminum obatnya lagi? jujur saja, dia sudah tak mampu menahan sakit kepalanya lagi.

Obat apa sih yang dia minum? Kenapa bisa sampai seperti ini? alvin berjalan menuju RoH. Dia tahu badannya sudah bergetar. jangan sampai ada yang lihat.
***
@RoH

Alvin memblokir pintu masuk. Jangan sampai ada yang masuk, jangan sampai ada yang lihat, jangan sampai ada yang tahu. Begitu terus yang ada di pikiran alvin.

Alvin memusatkan pandangannya, selalu saja jadi berbayang seperti ini. dia sudah bosan dengan efek sakit kepalanya. Alvin merosot di balik pintu, memejamkan matanya. Tak terasa, air matanya mengalir. Dia masih terus menahan sakit kepalanya, sudah bosan harus memegangi kepalanya tersebut.

Tak perlu ditanyakan lagi, luar biasa sakit sekali. takkan pernah ada yang tahu, takkan ada yang pernah ada yang bisa merasakannya. Cuma dia. Cuma dia yang tahu dan merasakan, betapa sungguh sakit rasa di kepalanya. Dia tidak bisa melihat dengan benar, tidak bisa memfokuskan pikirannya.

Badan alvin bergetar hebat. Ia mengangkat tangannya tepat di depan wajahnya, menatap tangannya yang bergetar, meskipun berbayang di pandangannya. Alvin tersenyum miris.

Slalu saja begini. Selalu dilemahkan dengan penyakitnya. Rasanya akan lebih baik bila ia dapat menusuk-nusuk kepalanya, membiarkannya pecah dengan tangannya sendiri. Dibandingkan seperti ini, sama saja dengan membunuhnya pelan-pelan.

Alvin tak peduli berapa banyak air mata yang jatuh dari pelupuk matanya, tak peduli harus berapa banyak lagi air matanya yang menetes untuk menahan semua rasa sakitnya. Ia memeluk dirinya sendiri, badannya benar-benar dingin dan bergetar.

“kapan? Kapan gue bisa lepas dari semua sakit ini?” alvin berbicara sendiri, miris sekali. Dia sudah frustasi sekali dengan sakitnya ini. “kenapa gue harus menderita gini sih? apa salah gue? apa gue gak pantes bahagia? Apa gue gak pantes nerima kehidupan yang layak, seperti yang lainnya? Kenapa gue harus ngerasain ini semua?” alvin menangis. Dia takut dia depresi lagi.

alvin tersenyum pedih. “sedih banget sih nasib gue. belasan tahun terus-terusan kayak gini. kapan gue bisa bebas? Kapan gue bisa seneng?”

“Tuhan sayang gak sih sama gue? kenapa gue selalu ngerasain penderitaan gini sepanjang hidup gue? apa gue gak pantes ya idup di dunia? Apa gue emang hidup buat terus-terusan nahan sakit kayak gini?” nada keputusasaan begitu terdengar dari suaranya.

“tiap hari, gue selalu ngerasain sakit ini. tiap hari juga, gue selalu ngeyakinin diri gue sendiri kalo suatu saat gue bisa lepas dari ini semua. Tapi sampai sekarang, apa? Apa yang gue yakinin? Salah total. Gue gak bisa lepas dari sakit ini. gue malah semakin menderita,” alvin mengepalkan tangannya, menghentakkan tangannya ke belakang, memukul pintu dengan begitu keras.

“gue benci jadi alvin! kenapa sih gue harus jadi alvin! kenapa gue harus menderita gini?!” alvin berteriak marah. Tak peduli dengan rasa sakit yang begitu mendera kepalanya.

Alvin mencoba berdiri, badannya sempoyongan, tidak seimbang. Ia berjalan ke arah meja dengan susah payah. Membuka lacinya, mengambil sebuah benda. Ia mendudukkan dirinya di kursi. Meremas benda yang diambilnya tadi.

Alvin mencoba membuka benda itu. Sebuah benda kecil, tajam, dan berwarna silver itu ia tatap dengan penuh kemarahan. Pisau lipat. Dia memegang pegangan pisau itu begitu kencang. Berharap ini adalah akhir semuanya. Berharap dia tidak akan merasakan semua sakit ini lagi. berharap dia tidak akan terus-terusan membenci dirinya sendiri.

Alvin menarik napas, dan menghembuskannya pelan. Mengusap mata pisau tersebut dengan telunjuknya. Alvin tersenyum miris. Sudah cukup semua penderitaan ini. sudah cukup semua hidupnya. Dia ingin mengakhirinya. Terlalu lelah dengan semua ini.

Alvin mengepalkan tangan kirinya begitu kencang. “maafin gue ag, harus ninggalin lo dengan cara gini. bukannya gue udah gak sayang sama lo. tapi gue gak tega harus nyusahin lo terus. gue sadar ag, gue terlalu buruk buat lo. salah gue udah minta lo married sama gue. salah gue udah bikin lo sakit hati. gue emang gak tau terima kasih ag. Lo selalu baik sama gue, tapi gue gak bisa ngebalesnya. Lebih baik gue pergi kan ag?” alvin memejamkan matanya, mengingat semua kenangannya dengan agni.

Begitu manis. Sejujurnya, dia gak pernah mau ninggalin agni. apalagi dengan cara seperti ini. tapi apa daya, dia sudah benar-benar frustasi, tak mau lagi merasakan sakit yang dahsyat sekali seperti sekarang.

Alvin tersenyum kecil. “lo terlalu sempurna buat gue ag. Gue takut gue gak bisa ngejaga hati lo. gue takut kehilangan lo. gue takut kalo lo marah sama gue. sekali lagi gue minta maaf ya ag, gak bisa ngasih lo kenangan yang manis, gak bisa ngasih lo kebahagiaan. Karna gue sendiri juga susah ag buat ngerasa bahagia. Cuma lo doang, satu-satunya, yang bisa buat gue seneng sepanjang hidup gue, gue emang gak berguna ag. Gue selalu aja nyusahin lo,” lirih alvin.

“Cuma kasih sayang, yang bisa gue kasihin ke lo, yang bisa gue curahin ke lo. kasih sayang yang selalu terpendam dalam diri gue, yang gak pernah bisa gue kasih ke orang lain selain lo. maaf ag kalo gue sering kelewatan ke lo, terlalu nunjukkinnya di depan orang lain saat gue sama lo,” alvin mengucapkannya seolah-olah agni ada dihadapannya. Rasa sakit itu kini menjalar ke hatinya, bukan hanya kepalanya yang sakit sekarang, tapi hatinya juga. Tidak tega bila harus meninggalkan agni.

“bukannya gue gak tanggung jawab ag udah nikahin lo, bukannya gue maenin lo. tapi gue bener-bener gak tega kalo harus ngeliat lo natap gue dengan sangat kasihan. Gue gak suka terlihat lemah, walaupun sebenernya gue emang terlalu lemah ag. Andai ag, andai, andai gue gak menderita kayak gini, mungkin sekarang gue lagi dengan semangatnya nungguin jam istirahat, nungguin pulang, nungguin biar bisa ketemu lo,” air mata alvin yang sudah berhenti tadi, kini menetes lagi.

“tapi apa gunanya ag, gue nungguin saat-saat itu kalo gue gak bisa ngerasainnya? Yang gue rasain Cuma kepala gue yang mau pecah gini. beribu maaf ag, gue ucapin buat lo. satu-satunya jalan ag,” alvin mengakhiri semua ucapannya.

Ia memegang pisau itu, mencoba memusatkan matanya, kemana dia harus menggoreskannya. Tanpa ragu, alvin langsung menggoreskan pisau lipatnya ke letak nadinya. Darah mengucur dari tangan kirinya. Perih sekali. alvin tahu itu, dia masih bisa merasakannya. Darah terus mengalir tanpa henti, memerahkan meja putihnya.
***
Perasaan agni jadi kacau balau. Entah kenapa bisa seperti ini, perasaannya tidak enak. Alvin. jangan-jangan terjadi sesuatu sama alvin. agni jadi panik. Ia meminta ijin keluar kelas. Jangan sampai, jangan sampai terjadi sesuatu pada alvin. agni berdoa dalam hati, bahwa alvin masih ada di kelasnya, duduk tenang belajar.

Rio, iel, dan cakka tiba-tiba merasakan perih di tangan kiri mereka, tepat di nadi mereka. Mereka menyentuhnya. Perih. Tiba-tiba dada mereka sesak sekali. napas mereka terengah-engah, hampir saja mereka menangis tiba-tiba. Seperti kehilangan sesuatu yang paling berharga dan tak boleh hilang dari hidup mereka. Ada apa ini? jangan-jangan alvin.. gak! Gak mungkin! Alvin gak mungkin ngelakuin ini. jangan! Jangan, alvin..

Ketiganya berlari keluar kelas. Gak peduli air mata menetes dari mata mereka. Jangan sampai alvin benar-benar melakukannya, alvin gak boleh bunuh diri. gak.. gak boleh..

Di tengah koridor, mereka bertemu dengan agni yang penuh kekhawatiran, sama seperti mereka. Agni yang melihat tak ada alvin diantara mereka, langsung mencelos hatinya. Berarti alvin.. derai air mata merebak dari matanya. Tak sanggup menerima kenyataan bahwa perasaannya benar.

“alvin,” kata agni begitu bertemu ketiganya. Ketiganya menggeleng. Kemudian mereka berlari ke RoH.

Sial! Pintunya diblokir alvin dari dalam. “ALVIN!” ketiganya terus berteriak memanggil alvin dan menggedor-gedor pintunya. Gak ada jawaban. hening sekali di dalam. Tubuh iel, rio, dan cakka semakin melemas. Mereka dapat merasakan yang alvin rasakan.

Cakka berusaha membuka dengan berbagai macam kode untuk membuka blokiran tersebut. Gak bisa. Dia panik sekali, dia betul-betul merasakan bahwa sedikit saja dia terlambat, nyawa alvin akan melayang. Apa, apa yang alvin pikirkan saat dia memblokir pintunya? Cakka berpikir keras.

Maaf! Pasti itu yang dia pikirkan, cakka memasukkannya. Terbuka. keempatnya shock berat begitu melihat alvin sudah tergeletak di lantai dengan darah yang memenuhi mejanya dan sekarang memenuhi lantai di sekitarnya. Tanpa mengucapkan apapun, semuanya langsung melarikan alvin ke rumah sakit.
***
Iel, rio, dan cakka bergetar parah. Mereka tahu tepatnya apa yang terjadi pada saudara kembar mereka ini sekarang. Jangan, jangan ambil alvin dari mereka. Mereka merasa, semakin lama, jiwa alvin dalam diri mereka perlahan menghilang, diambil dari mereka. Ketiganya meneguhkan hati mereka, meyakinkan diri masing-masing bahwa alvin akan tetap disini, disamping mereka, menemani mereka, dalam suka ataupun duka.

Agni. sedaritadi dia menangis terisak. Iel dan rio memeluknya, mencoba menenangkannya walaupun mereka sendiri ketakutan. Agni benar-benar ketakutan, takut kehilangan alvin, takut alvin akan meninggalkannya sendirian selama-lamanya.

“alvin, jangan tinggalin gue,” agni memohon dengan sangat. “janji lo vin, buat selalu nemenin gue, selalu ngisi hari gue, selalu buat gue senyum, selalu ngejaga dan ngelindungin gue. gue mau lo nepatin janji itu vin. jangan pernah tinggalin gue,” agni memeluk iel, yang sudah dianggapnya kakak, mencari ketenangan.

“agni, alvin gak akan ninggalin kita. Jangan mikir kayak gitu ya. udah, kita berdoa aja ya,” iel mengusap-usap punggung agni mencoba menenangkannya.

“kalo alvin emang mau ninggalin gue, tinggalin gue aja. Tapi jangan gini caranya, keterlaluan,” tangis agni semakin menjadi-jadi. Alvin tega sekali padanya. Bila alvin mau meninggalkannya, tidak perlu dengan cara seperti ini kan?

Apa yang bisa dia lakukan nanti bila alvin benar-benar pergi selamanya? Apa dia nanti masih sanggup jalanin hidupnya? Apa dia masih bisa bertahan? Agni tak mampu menjawabnya, apalagi membayangkan jika alvin benar-benar meninggalkannya.

“apa sih yang dia pikirin sampe kayak gitu?” tanya rio tak habis pikir.

Tak ada yang menjawab, tak ada yang tahu. Entahlah, mengapa alvin bisa berpikir dan berbuat seperti itu tiba-tiba. Padahal tidak terjadi apapun antara alvin dengan mereka semua.

Dea, shilla, ify, ray, dan zahra berlari menghampiri mereka. Khawatir. agni melepaskan pelukannya, tidak enak pada dea.

“gak papa ag, lo perlu ketenangan kan?” kata dea lembut. Agni diam saja. dea, shilla, ify, dan ray mencoba menenangkan agni.

“alvin gimana?” tanya zahra. Rio hanya menggeleng. Zahra tak percaya dengan apa yang terjadi sekarang.

Alvin, sosok yang paling dia kagumi diantara keempatnya. Alvin, dia penuh kelembutan dan pengertian, begitu penyayang dan menyenangkan, dewasa dan slalu berpikir jauh. Bagaimana bisa, seorang alvin melakukan hal ini, tanpa sebab apa-apa? Pendek sekali pikirannya. Zahra benar-benar tak bisa mempercayainya.

Tiba-tiba cakka merasakan pukulan keras di hatinya. “kritis, kondisinya kritis banget sekarang,” cakka benci bila harus mengatakannya, namun yang lain perlu tahu. Batinnya dengan batin alvin lebih kuat dibandingkan dengan yang lain.

Agni semakin drop saja mendengarnya. Tapi dia masih berharap, bahwa alvin akan tetap bertahan hidup, menemaninya. Rio dan iel harus menerima kenyataan bahwa yang diucapkan cakka benar. Kemungkinan alvin bertahan sekarang kecil sekali.

Dokter keluar dari ruangan alvin. mereka semua langsung menghampirinya, bertanya. “gimana dok?” tanya iel khawatir.

Dokter menggelengkan kepalanya. “kritis sekali, dia terlalu banyak kekurangan darah, daya tahan tubuhnya terlalu lemah. kemungkinan hidupnya setelah ditransfusi darah pun kecil sekali,” kata dokter perlahan. Kemudian meninggalkan mereka.

Badan agni lemas mendengarnya, dia jatuh terduduk. Tidak percaya dengan semua ini. ray memegangi kedua lengan agni, “ag, alvin gak akan ninggalin lo. jangan ikutan lemah gini ag, gimana dia mau bertahan buat lo kalo lo udah pesimis duluan,” ray mencoba menguatkan agni.

Agni menggoyang-goyangkan lengan ray, menatapnya berharap. “ray, ini semua Cuma mimpi buruk gue kan? ini gak nyata kan? gue Cuma mimpi kan? nanti pas gue bangun, alvin gak kenapa-napa kan? ray, jawab gue, ini Cuma mimpi kan? gak mungkin alvin ninggalin gue, gak mungkin kan ray? ini semua gak nyata kan?” agni berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini semua hanya khayalan buruk, mimpi buruk, bukan kenyataan.

Semua menatap agni kasihan. Kasihan sekali agni sampai seperti ini. iel, rio, dan cakka meninggalkan yang lain, mau mendonorkan darah mereka untuk alvin. setidaknya masih ada harapan hidup untuk alvin.

Ray tidak tega dengan agni. “gak ag. Ini nyata, yang di dalem sana, alvin.” ray menunjuk ruangan alvin yang ada dihadapannya. Agni benar-benar tak percaya. “dia, sekarang kritis. Jangan kayak gini ag, kasihan alvin,” lanjutnya.

Agni berdiri, pandangannya kosong. ia menghampiri depan ruangan tesebut dan melihat dari kaca di pintu. Benar. Alvin. dia terbaring lemah disana, tidak bergerak sedikitpun. “alvin. lo jahat sama gue, lo tega ninggalin gue. kalaupun lo mau ninggalin gue, gak gini kan vin caranya? Lo bisa bilang kan ke gue? sayangin nyawa lo vin. nyawa yang udah Tuhan kasih buat lo.”

Yang lain benar-benar kasihan pada agni. kalau mereka sudah di posisi agni, gak mungkin mereka masih dengan tegarnya berkata seperti itu. Pasti mereka sudah menangis terus, bahkan mereka mungkin sudah pingsan duluan begitu mendengar kondisi alvin.

Shilla memeluk agni. “udah ag. Jangan salahin kak alvin. pasti dia lagi khilaf waktu ngelakuinnya. Gak mungkin dia mau ninggalin lo ag. pasti dia punya alesan lain,” shilla mencoba menenangkan jiwa agni yang terguncang.

“apa alesannya? Gue sendiri gak tau. dia gak pernah bilang ke gue. dia udah bosen idup ya? dia udah gak sayang ya sama nyawanya? Dia udah males ngejalanin ini sama gue ya?” tanya agni. shilla semakin mengeratkan pelukannya.

“enggak ag. Dia pasti seneng ngejalanin ini semua sama lo. jangan ngaitin ini sama lo ag, jangan,” kata shilla prihatin.

Sudah 3 jam agni dan yang lain menunggu dokter di kamar rawat alvin. bu ucie, bu winda, pak joe, dan pak duta baru saja sampai disana. Mereka menenangkan agni. bu ucie dan pak duta sendiri tidak percaya bahwa alvin akan melakukan hal ini. sungguh-sungguh diluar nalar mereka.

Akhirnya dokter keluar. “masih kritis. Dia belum sadar. Kalian boleh masuk,” katanya.

Alvin, dia terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Berbagai alat kedokteran terpasang di tubuhnya, membantu kehidupannya. Agni, bu ucie, dan pak duta menghampiri alvin. ada jahitan di tangannya gara-gara menggoresnya. Untung saja, pandangan alvin tidak terlalu fokus, sehingga tidak menggores terlalu dalam, tidak memotong nadinya.

Bu ucie mengecup kening alvin, mengusap-usap rambutnya. “sayang, kamu kenapa? kok jadi gini sih? kamu tega, ninggalin mama sama papa? Ninggalin agni? ninggalin iel, rio, sama cakka? jangan, sayang. Kamu masih sayang kan sama kita? Kamu sadar ya, kamu kembali ya, jadi alvin kita. Alvin kita yang pikirannya dewasa, gak pendek gini. sadar ya sayang, kembali sama kita, kita kangen sama kamu,” bu ucie setengah menangis mengucapkannya.

“alvin, kamu harus bangun ya. papa sama yang lain gak mau liat kamu kayak gini. gak mau liat kamu terbaring lemah gak berdaya begini. Mana alvin papa yang kuat? Yang selalu tegar? Yang selalu bertahan? Kenapa kamu nyoba bunuh diri sih? alvin, kita semua sayang sama kamu. Kalo kamu ada masalah, cerita sama kita. Jangan tiba-tiba mau ninggalin kita gini dong. Cepet sadar ya, kamu kan anak papa yang paling kuat,” pak duta mengucapkannya setengah tersenyum. Tak tega melihat anaknya seperti ini. tapi dia harus terlihat kuat untuk anaknya.

Bu ucie dan pak duta keluar, membiarkan agni berdua dulu dengan alvin. agni mengusap rambut alvin.

“alvin, lo kenapa sih? kalo ada masalah, bilang sama gue. jangan tinggalin gue gini vin, gue gak sanggup. Gue sayang sama lo,” kata agni pelan. Ia menatap nanar alvin.

“vin, sayangin nyawa lo. Tuhan baik vin sama lo, dia masih ngasih lo kesempatan, masih ngasih lo harapan buat hidup. Jangan sia-siain ini vin, kesempatan lo buat sadar. Buat kembali sama kita. Apa sih vin, alesan lo bunuh diri?” agni berhenti sejenak.

“lo gak liat sih vin, pas gue ngeliat darah terus ngalir dari tangan lo, saat gue ngeliat nadi lo itu hampir putus, saat gue ngeliat lo udah gak sadarin diri vin. saat lo ngeregang nyawa lo sendiri. Gue bukannya sedih lagi vin, gue udah sedih banget, gue kecewa saat tau lo lebih milih buat bunuh diri ketimbang cerita sama kita semua,” agni menghela napas berat, menahan diri untuk tidak menangis.
***
Berhari-hari, alvin koma, masih belum sadarkan diri juga. Nyawanya menggantung sekarang. Antara hidup dan mati. Agni masih terus berharap kalau alvin akan menyadari kesalahannya, akan sadar, akan bangun untuk dirinya.

“alvin, udah berapa hari lo disini vin? udah seminggu. Lo masih gak sadar juga. Lo emang udah gak mau hidup lagi ya vin? lo lebih milih mati ya?” agni mengusap-usap rambut alvin. dia sudah bertekad untuk tidak ikutan lemah, dia harus meyakinkan alvin untuk kembali kesisinya.

Agni menatap alvin setengah benci setengah kasihan. “alvin! lo jahat sama gue! lo tega ninggalin gue tanpa bilang apapun! Gue benci sama lo vin!” marah agni, berharap alvin akan meminta maaf padanya, melakukan sesuatu untuk mendapatkan maafnya. Seperti yang biasa alvin lakukan jika agni sedang marah.

“please vin, bangun. Bilang ke gue kalo lo lagi ngerjain gue, lagi becandain gue, lagi pengen buat gue marah, lagi pengen ngegodain gue, kayak yang biasa lo lakuin. Bilang vin kalo ini semua Cuma mimpi buruk gue yang panjang. Bilang kalo disaat gue bangun dari tidur gue nanti, lo bakal ngetawain gue karna mimpiin lo kayak gini vin. vin, ayo vin, bangun, terserah lo mau ngaku ini becandaan lo doang, lo Cuma mau bikin gue perhatian sama lo, bilang vin, bangun. Gue gak bakal marah vin. ayo vin, bangun, ketawain gue, ledekkin gue. alvin,” agni menggoyang-goyangkan badan alvin, berharap alvin memang sedang bercanda, berharap ini semua hanya mimpinya yang terburuk.

Gak ada jawaban apapun dari alvin. dia masih diam saja, gak bergerak, gak menyahut. Agni tak mampu lagi menahan air matanya. Ia menangis diatas tangan alvin.

Iel memasuki kamar rawat alvin, berdiri disamping agni. “ag, udah, jangan nangis terus. kasihan sama mata lo, harus nangis terus,” iel mengusap-usap kepala agni.

Agni mengangkat kepalanya, menghapus air matanya. Ia mencoba tersenyum. Hanya senyum tipis yang tergurat di bibirnya. “yel, menurut lo, dia masih sayang sama gue gak? Dia masih inget ada gue gak? Dia masih mau idup sama gue gak? Dia masih sayang sama dirinya sendiri gak?”

Begitu menusuk hatinya mendengar agni bertanya seperti itu, benar-benar putus asa. Agni terlalu frustasi akan ini semua. Dia tidak tega melihatnya.

“masih ag, dan akan selalu selamanya begitu,” jawab iel sedikit bergetar.

“yakin? Terus kenapa dia nyoba bunuh diri? Gue bingung yel, gue gak punya masalah sama sekali sama dia, dia gak cerita apa-apa ke gue. terus kenapa dia bisa ngelakuin ini coba?” agni menggenggam tangan kanan alvin begitu erat.

Iel memeluk agni. dia tahu, bila alvin melihat agni menangis seperti ini, alvin pasti akan memeluk agni, mengucapkan kata-kata yang dapat membuat agni tenang. Tapi dia gak bisa. Dia bukan alvin yang bisa nenangin agni, dia Cuma bisa ngasih perhatian dia ke agni selagi alvin belum sadar.

Maafin gue vin, gue gak bisa bikin agni tenang. Cuma lo vin, Cuma lo yang bisa. Bangun vin, bikin agni senyum lagi, bikin agni ceria lagi. jangan kayak gini ke kita vin, jangan bikin kita takut kehilangan lo selama-lamanya. Bangun vin, gue janji, kalo lo bangun, gue gak akan pernah gangguin lo sama agni. tapi bangun vin, bangun, batin iel.
***
Sudah dua minggu alvin koma, gak ada perkembangan sedikitpun darinya. Semua sudah putus asa. Apa alvin benar-benar tidak ingin hidup lagi? apa alvin memang ingin meninggalkan mereka? Apa alvin benar-benar ingin membunuh dirinya sendiri, mengakhiri hidupnya?

Dokter yang baru mengecek kondisi alvin langsung memberitahu mereka. “kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun alvin tak menunjukkan perkembangan sedikitpun. Nyawanya hanya bergantung pada alat-alat yang terpasang di tubuhnya. Menahan hidupnya seperti ini sama sekali tidak berguna, bila dia memang sudah benar-benar ingin pergi. Kami menyarankan, agar kalian rela melepas kepergian alvin. kami akan mencabut alat bantu hidupnya bila kalian sudah rela melepasnya,” kata dokter tersebut.

Tubuh agni bergetar hebat. Gak, gak boleh. Sampai kapanpun, dia gak akan rela melepas kepergian alvin. apalagi tanpa sebab seperti ini. bu ucie dan pak duta memeluknya, keduanya menangis mendengar saran dokter.

Putra mereka, yang paling kuat, yang paling tegar, kini harus meninggalkan mereka. Sungguh tak akan pernah rela melepasnya. Namun ini yang dipilih alvin, alvin sudah memilihnya sejak awal. Apa gunanya menahan dirinya? Menggantung kehidupannya?

Bu winda dan pak joe menenangkan bu ucie, pak duta dan agni. Cakka, rio, dan iel, yang meskipun sudah tahu, tetap shock berat. Bagaimana mungkin, kembaran mereka, adik dan kakak mereka yang sangat mereka sayangi meninggalkan mereka secepat ini? shilla, ify, dan dea berusaha menenangkan ketiganya. Zahra sendiri sudah menangis deras, tidak rela melepas sosok alvin yang dianggapnya sebagai kakak sendiri. Ray memeluk zahra, mencoba menghentikan tangisnya.

“agni, iel, rio, cakka, kita biarin alvin pergi ya sayang? Kasihan dia begitu terus, kita coba ya buat ngerelain alvin,” kata bu ucie, menahan tangisnya. Gak ada yang menjawab, gak akan ada yang pernah relain kepergian alvin.

“sayang, kalian masih sayang kan sama alvin? biarin dia yang milih ya,” bujuk pak duta. Walaupun dia sendiri gak mau ngelepas alvin. semuanya mengangguk setengah hati.
***
Bu ucie, bu winda, pak joe, dan pak duta memberikan kesempatan buat yang lain mengucapkan kata-kata terakhir mereka pada alvin. yang lain masuk ke ruangan alvin.

Ray, dia yang pertama. “alvin, gue yakin lo selalu sayang sama agni, bangun vin. gue masih tetep berharap lo bangun vin. gue udah pernah bilang kan sama lo, kalo gue gak akan pernah ngerelain lo nyakitin agni. bangun vin. gue tau lo orang yang baik dan penyayang. Buktiin kalo lo masih sayang sama agni.”

“alvin, gue udah anggep lo sebagai kakak gue. lo selalu baik sama gue. bangun vin, gue mau liat lo makan cake buatan gue lagi. gue masih pengen liat lo ngelimpahin semua kasih sayang lo ke agni vin. bangun,” kata zahra berharap.

“kak, bangun kak. gue masih pengen ngeliat lo bikin gue iri, bikin gue jealous gara-gara lo manjain agni banget. bangun kak,” ucap shilla.

“kak alvin, lo berhasil banget bikin cakka marah sama gue gara-gara gue selalu minta dia kayak lo. bangun kak, manjain agni lagi, gue masih mau liatnya kak,” ucap ify setengah menangis.

“kak alvin, kakak yang paling gue kagumin diantara lo berempat. Lo yang paling perhatian, paling romantis, paling baik. gue kangen sama semua cara lo merhatiin agni, manjain agni. bangun ya kak,” dea melihat agni berusaha menahan tangisnya.

Iel mendekatkan wajahnya ke telinga alvin, tangannya mengusap-usap rambut alvin. “alvin, adek gue tersayang, bangun ya. elo vin, adek yang paling gue sayang, kembaran yang paling gue sayang. Lo segalanya bagi gue vin, apapun akan gue kasih kalo lo bangun. Ayo vin, bangun. Gue tau lo orangnya nekatan, tapi gak gini juga kan vin?” bisik iel, menahan tangisnya.

“vin, kita kan hasinuda vin. haling, sindunata, nuraga, damanik. Mana bisa hasinuda tetep ada kalo sindunatanya gak ada? Bangun vin, gue gak akan pernah bisa relain lo pergi tanpa alesan gini. alvin, lo selalu nurut kan sama gue? alvin, bangun, kak iel mau alvin bangun,” perlahan, air mata iel menetes. Dirinya gak sanggup bila harus kehilangan alvin, yang amat begitu berarti bagi dirinya.

Iel berdiri di samping agni, membiarkan rio gantian berbicara dengan alvin. rio berbisik di telinga alvin, tangannya menggenggam jemari alvin, berharap dia bisa memberikan sedikit nyawanya untuk membangunkan alvin.

“alvin, bangun ya. mana sih, alvin yang selalu perhatian? Yang gak pernah suka ngeliat orang yang disayanginnya nangis? Liat vin, gue, iel, cakka, zahra, sama agni, nangisin lo. lo gak suka kan vin? makanya vin, bangun, brentiin tangisan kita. Gue kangen vin, sama semua cara lo. cara yang lo lakuin buat bikin kita senyum, buat bikin kita tetap tegar, buat bikin kita percaya sama lo. Tapi kok gue gak liat dari lo ya sekarang? Lo malah koma begini, lo gak bisa buat kita senyum, gak bisa buat kita tegar, gak bisa buat kita percaya,” rio berhenti sejenak.

“vin, lo kan dewasa vin, berpikiran jauh. Apa sih yang lo pikirin ampe ngelakuin hal kayak gini? bego banget tau gak sih vin. vin, cepetan bangun, sebelum semua alat bakal dicabut dari badan lo, sebelum semuanya terlambat vin. bangun, kak rio selalu nunggu alvin buat bangun,” lanjut rio. ia menggantikan posisi cakka disamping agni yang satunya.

Cakka tersenyum tipis pada alvin. kemudian berbisik, seperti yang dilakukan iel dan rio tadi. “hei vin, udah berapa hari gue gak liat senyum lo? senyum maut yang lo pake buat godain cewek kita? Udah berapa hari gue liat lo gak nyentuh agni? bukannya lo pengen selalu nyentuh dia ya vin? udah berapa hari gue gak liat kapten futsal kebanggaan kita ini maenin bolanya? Alvin, bangun,” bujuk cakka.

“ohya vin, lo inget gak? Waktu kecil lo selalu minta gue manggil lo pake kakak, tapi gue selalu nolak. Inget gak vin? gue masih inget banget loh. Lo tau kan alesan gue? karna kita kembar vin, kita seumur, gue gak mau manggil lo kakak,” cakka sudah hampir menangis, begitu banyak kenangannya dengan alvin.

Setetes demi setetes, air mata cakka berjatuhan. “kak alvin, kakak bangun ya. cakka kangen sama kak alvin. cakka kangen main bola sama kak alvin, cakka kangen sama permainan musiknya kak alvin, cakka kangen kak. cakka kangen banget sama kak alvin. cakka mau kak alvin bangun. Kak alvin bangun ya, cakka sayang sama kak alvin,” cakka mengusap air matanya. Panggilan kakak lah yang selalu diinginkan alvin. sekarang, kalau alvin bangun, kalau alvin minta dipanggil kakak, cakka tidak akan pernah menolaknya. Apapun, demi alvin.

Agni berjalan mendekat ke arah alvin, memegang tangan kanan alvin, menyampingkannya menghadapnya. Agni tersenyum, dan menggerakkan telunjuknya, mengikuti garis-garis hitam yang membentuk namanya disana. AGNI.

“hei sayang, liat nih di tangan lo, ada nama gue kan? lo masih inget sama gue gak? Gue istri lo vin, yang lo bilang selalu ada di hati lo, yang selalu lo sayang sampai kapanpun. gue Cuma minta satu sama lo sekarang, bangun, jangan tinggalin gue,” agni tidak mau menangis sekarang. Dia mau alvin mendengarkannya dengan jelas.

Agni mengembalikan tangan alvin ke posisinya semula, menggenggamnya erat. “vin, lo inget yang lo bilang waktu ngelamar gue? until the death separates us? Bukan gini vin, itu akan terjadi dengan sendirinya. Bukan lo malah ngebunuh diri lo sendiri, sengaja ninggalin gue. gue masih gak ngerti jalan pikiran lo, apa yang lo pikirin saat lo mutusin buat bunuh diri?”

“ohya vin, gue tau lo emang suka bercanda. Tapi ini bener-bener gak lucu vin. gak sama sekali. bangun, buka mata lo, tunjukkin ke gue kalo lo emang masih sayang sama gue, masih mau hidup. Vin, kesempatan terakhir lo vin, sekarang. Satu jam lagi, waktu yang tersisa buat lo, sebelum kita mutusin benang kehidupan lo. gue percaya vin, kalo lo bakal bangun. Cepetan vin, jangan sampe semuanya terlambat,” agni mengakhiri ucapannya.

Hening. Sekarang mereka hanya bisa menunggu dan berdoa. Berdoa agar alvin menyadari kesalahannya, agar sadar, agar kembali bersama mereka sekarang. 1 jam, waktu yang terlalu cepat untuk kehilangan alvin, yang sudah menjadi bagian dari mereka sendiri.

Alvin. semua yang dilihatnya hanya putih. Yang dia tahu, dia sekarang berdiri di sebuah perbatasan. Perbatasan antara hidup dan mati, antara menyerah dan bertahan. Kemana dia akan melangkah? Kembali ke kehidupannya, atau pergi untuk selama-lamanya?

Alvin tahu, bila dia akan pergi, semua akan menangisinya, tidak akan merelakannya. Tapi, bila dia kembali, sanggupkah dia menerima kembali semuanya? Segala kesakitan yang justru dia hindari? Yang justru karenanya dia lebih memilih untuk mati? Alvin berpikir sejenak, menghela napas berat, dia tahu kemana dia harus pergi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar